Orang yang menderita migrain bisa jadi memperoleh stigma sosial yang
sama dengan orang yang menderita epilepsi. Hal ini dikemukakan sebuah
studi baru dari AS.
"Saya kira banyak orang yang menganggap tak wajar dengan penderita migrain yang mengalami sakit kepala parah setiap hari dan bisa mengalami kelumpuhan sehingga mereka tak bisa bekerja dengan baik. Hal ini memunculkan stigma, padahal faktanya orang-orang dengan migrain parah memang sulit untuk bekerja dengan baik," kata peneliti Dr. William B. Young, MD, pakar neurologi dari Headache Center, Thomas Jefferson University Hospital.
Untuk membuktikannya, studi yang dilakukan bersama tim peneliti dari Rutgers University ini mengamati stigma sosial yang diterima 123 penderita migrain episodik, 123 penderita migrain kronis dan 62 penderita epilepsi dengan mengukur 'skala stigma' dari setiap partisipan.
Dari situ ditemukan bahwa secara umum skor 'skala stigma' yang diperoleh penderita migrain hampir sama dengan skor pengidap epilepsi. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa penderita migrain kronis mengalami lebih banyak masalah dengan pekerjaannya ketimbang penderita migrain episodik.
"Ketika orang-orang memperlakukan pasien-pasien saya seperti ingin menyalahkan mereka karena memiliki penyakit parah yang mengganggu kinerjanya, justru merekalah yang berkontribusi terhadap masalah itu dan membuat hidup pasien saya terasa makin sulit," tandas Young seperti dikutip dari huffingtonpost, Sabtu (19/1/2013).
Nyatanya temuan ini tak mengejutkan bagi orang-orang yang menderita migrain. Lagipula menurut studi lain yang dilakukan pada tahun 2010, penderita migrain kronis memang memperoleh lebih banyak stigma daripada penderita migrain episodik, begitu juga dengan penderita multiple sclerosis, stroke dan epilepsi.
Menanggapi studi yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS One ini, Dr. Jason Rosenberg, seorang asisten profesor neurologi dari Johns Hopkins Medicine mengungkapkan dugaannya, hal ini bisa jadi dikarenakan orang-orang cenderung akan membayangkan 'tipe orang tertentu' ketika ditanya tentang penderita migrain.
"Bahkan orang sering berpikir kelemahan karakter itu berlawanan dengan penyakit biologis," ujar Rosenberg.
Lagipula karena tak ada tes khusus untuk penderita migrain seperti halnya pada penderita penyakit asma atau diabetes, orang-orang tidak mengira kondisi ini dianggap 'sah' untuk dijadikan pembenaran, meskipun kenyataannya memang seperti itu.
"Saya kira banyak orang yang menganggap tak wajar dengan penderita migrain yang mengalami sakit kepala parah setiap hari dan bisa mengalami kelumpuhan sehingga mereka tak bisa bekerja dengan baik. Hal ini memunculkan stigma, padahal faktanya orang-orang dengan migrain parah memang sulit untuk bekerja dengan baik," kata peneliti Dr. William B. Young, MD, pakar neurologi dari Headache Center, Thomas Jefferson University Hospital.
Untuk membuktikannya, studi yang dilakukan bersama tim peneliti dari Rutgers University ini mengamati stigma sosial yang diterima 123 penderita migrain episodik, 123 penderita migrain kronis dan 62 penderita epilepsi dengan mengukur 'skala stigma' dari setiap partisipan.
Dari situ ditemukan bahwa secara umum skor 'skala stigma' yang diperoleh penderita migrain hampir sama dengan skor pengidap epilepsi. Selain itu, peneliti juga menemukan bahwa penderita migrain kronis mengalami lebih banyak masalah dengan pekerjaannya ketimbang penderita migrain episodik.
"Ketika orang-orang memperlakukan pasien-pasien saya seperti ingin menyalahkan mereka karena memiliki penyakit parah yang mengganggu kinerjanya, justru merekalah yang berkontribusi terhadap masalah itu dan membuat hidup pasien saya terasa makin sulit," tandas Young seperti dikutip dari huffingtonpost, Sabtu (19/1/2013).
Nyatanya temuan ini tak mengejutkan bagi orang-orang yang menderita migrain. Lagipula menurut studi lain yang dilakukan pada tahun 2010, penderita migrain kronis memang memperoleh lebih banyak stigma daripada penderita migrain episodik, begitu juga dengan penderita multiple sclerosis, stroke dan epilepsi.
Menanggapi studi yang dipublikasikan dalam jurnal PLOS One ini, Dr. Jason Rosenberg, seorang asisten profesor neurologi dari Johns Hopkins Medicine mengungkapkan dugaannya, hal ini bisa jadi dikarenakan orang-orang cenderung akan membayangkan 'tipe orang tertentu' ketika ditanya tentang penderita migrain.
"Bahkan orang sering berpikir kelemahan karakter itu berlawanan dengan penyakit biologis," ujar Rosenberg.
Lagipula karena tak ada tes khusus untuk penderita migrain seperti halnya pada penderita penyakit asma atau diabetes, orang-orang tidak mengira kondisi ini dianggap 'sah' untuk dijadikan pembenaran, meskipun kenyataannya memang seperti itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar